“Pekewuh Pemimpin Baru terhadap Keputusan Pemimpin Lama: Antara Etika, Hukum, dan Tanggung Jawab Sosial”
Dalam dinamika kepemimpinan, terutama di lingkungan pemerintahan lokal seperti desa atau kelurahan, seringkali pemimpin baru dihadapkan pada masalah yang diwariskan oleh pemimpin sebelumnya. Salah satu beban psikologis yang dirasakan adalah munculnya rasa pekewuh atau sungkan, terutama ketika keputusan-keputusan terdahulu mengandung kekeliruan atau menimbulkan sengketa, misalnya terkait tanah atau aset desa. Bagaimana seorang pemimpin baru harus bersikap dalam situasi semacam ini?
1. Pekewuh sebagai Realitas Budaya dan Psikologis
Dalam kultur masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa, nilai-nilai seperti unggah-ungguh, rasa hormat kepada yang lebih tua, dan menjaga harmoni sosial sangat dijunjung tinggi. Seorang pemimpin bisa merasa tidak enak hati untuk mengoreksi atau membongkar kekeliruan pendahulunya, apalagi jika yang bersangkutan masih hidup, dihormati, atau memiliki pengaruh di masyarakat. Rasa sungkan ini sering membuat pemimpin baru berjalan hati-hati, bahkan ragu dalam mengambil keputusan korektif.
2. Beban Etis dan Moral dalam Kepemimpinan
Meski bukan pihak yang membuat keputusan, seorang pemimpin baru secara moral dan institusional tetap memikul tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam wilayah kepemimpinannya. Ini adalah bagian dari kesinambungan pemerintahan. Kepemimpinan bukan hanya tentang menciptakan kebijakan baru, tapi juga tentang menyelesaikan warisan persoalan lama dengan bijaksana dan bertanggung jawab.
3. Dimensi Administratif dan Hukum
Salah satu masalah yang sering muncul adalah persoalan pertanahan. Misalnya, pada masa lalu telah terjadi transaksi atau pemanfaatan tanah tanpa dokumen resmi yang lengkap. Ketika timbul sengketa di kemudian hari antara warga dengan pemerintah, pemimpin baru menghadapi dilema. Di satu sisi, ia ingin memperjuangkan keadilan bagi warga. Di sisi lain, ia terikat pada prosedur hukum dan aturan yang berlaku.
Dalam konteks ini, sikap profesional diperlukan. Pemimpin harus:
- Menginventarisasi seluruh data dan dokumen yang tersedia.
- Mengkaji ulang proses administratif masa lalu.
- Menggandeng pihak netral atau otoritatif seperti BPN, notaris, atau pihak akademik untuk validasi data.
4. Solusi: Tegas dalam Prinsip, Lembut dalam Pendekatan
Rasa pekewuh tidak boleh menjadi penghalang bagi penegakan kebenaran. Justru di sinilah seorang pemimpin bisa menunjukkan kualitas integritasnya. Beberapa pendekatan yang bisa diambil antara lain:
- Transparansi: Menyampaikan kepada masyarakat bahwa ada kekurangan administrasi di masa lalu, dan kini pemerintah sedang berusaha menyelesaikannya dengan adil.
- Musyawarah: Membuka ruang dialog antara warga dan pihak pemerintah. Forum musyawarah dapat meredakan ketegangan dan membangun kesepahaman.
- Pendampingan Hukum: Bila perlu, difasilitasi pendampingan hukum agar warga memahami hak dan batas-batasnya secara konstitusional.
5. Penutup: Kepemimpinan yang Membenahi, Bukan Membalas
Menjadi pemimpin bukan hanya soal membuat sejarah baru, tapi juga memperbaiki catatan lama. Seorang pemimpin yang mampu menghadapi warisan masalah dengan kepala dingin, hati terbuka, dan sikap adil akan lebih dihargai oleh masyarakat. Pekewuh yang dibingkai dengan kebijaksanaan justru akan menjadi kekuatan moral yang memperkuat posisi kepemimpinannya.
By: Andik Irawan